jujur aja ,, ini ane copas dari thread orang ..
Setiap ane pergi ane selalu liat orang tua yang jualan, walaupun umurnya sudah tua sudah harusnya istirahat menghabiskan waktu hidupnya, dan sudah seharusnya senang tenang tidak memkikirkan tanggungan apapun tapi di jalanan ane liat banyak yang masih usaha untuk mendapatkan hasil
para orangtua ini rela menghabiskan waktu sehari hari dengan mengangkat beban berat, mendorong grobak, panas panasan belum lagi ada kendala di jalanan, bayangkan pergi pagi pulang malam berjalan mungkin puluhan kilo meter dan itu pun hasilnya belum cukup dengan tanggungannya
“Malaikat Tua” Penjual Amplop
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.
Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.
Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.
Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di fesbuk yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap….”.
Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.
Bapak penjual amplop itu ternyata bernama Pak Darta. Alhamdulillah ternyata Pak Darta tidak pernah lalai menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu shalat. Dulu, ketika tulisan pertama tentang Bapak itu saya muat di blog ini ada pembaca yang menyangsikan dia seperti pedagang kaki lima lain di sekitar Salman yang tetap berjualan dan tidak ikut shalat Jumat. Tetapi, Pak Darta tidak termasuk pedagang seperti itu. Dia tinggalkan dagangannya begitu saja ketika adzan berkumandang lalu berjalan menuju masjid untuk shalat Jumat.
Selesai shalat Jumat saya berniat menemui Bapak itu lagi untuk membeli amplopnya. Saya ingin membeli sepuluh bungkus lagi. Amplop yang dulu saya beli belum pernah terpakai hingga saat ini, tetapi tidak apa-apa saya ingin membelinya lagi. Saya percaya bahwa dagangan orang-orang kecil itu mengandung barokah, karena ada ketulusan, kejujuran, dan perjuangan hidup di dalamnya.
Bapak itu sudah selesai shalat Jumat dan sudah berada di depan dagangannya. Ketika langkah saya semakin mendekat, saya perhatikan beberapa orang silih berganti membeli dagangan amplopnya. Ada yang membeli satu bungkus, dua bungkus, dan sebagainya. Alhamdulillah, selalu ada saja rezeki buat si Bapak itu ya. Pembeli umumnya melebihkan pembayaran dengan niat sedekah (begitu kira-kira yang saya perhatikan).
Setelah suasana agak sepi baru saya dekati Pak Darta. Penampilannya sekarang terlihat lebih segar dibandingkan pertama kali saya bertemu dia dulu, tetapi tetap seja raut kerentaan, tangan bergetar, dan suara lirihnya masih melekat. Sambil membeli saya ingin tanya-tanya sedikit. Pak Darta memang tidak kenal saya dan beliau juga tidak tahu kalau saya menulis tentang kisahnya, tapi itu tidak penting.
Tukang koran yang berjualan di depan Taman Ganesha ikut menghampiri kami. Rupanya para pedagang di sekitar Taman Ganesha itu terlihat peduli dengan Pak Darta. Sejak tulisan pertama saya tentang Bapak penjual amplop dimuat di blog ini, sudah banyak orang yang datang mencari dia sehingga para pedagang di sana hafal dengan Pak Darta. Para pedagang itu pula yang menjaga barang dagangan Pak Darta bila bapak itu shalat di masjid Salman. Ah, siapa pula orang orang yang tega mencuri dagangan amplop Pak Darta.
Saya yakin Pak Darta adalah tipikal muslim yang taat. Beberapa kali saya pernah melihat dia — tapi bukan pada hari Jumat — mengemasi dagangannya ketika adzan Dhuhur berkumandang dari Masjid Salman. Pak Darta menitipkan tas yang berisi dagangan amplopnya kepada pedagang martabak mini di sekitar situ, lalu dia berjalan dengan pelan menuju masjid untuk mengambil wudlu dan shalat di dalam. Barakollah pak, meskipun miskin dan sudah renta tetapi tidak lalai dengan kewajiban agama.
Pak Darta bercerita ada empat kali dia kedatangan orang-orang ke rumahnya di Bale Endah, Kabupaten Bandung. Alhamdulillah, ada saja orang-orang baik hati yang datang membantunya. Pak Darta berkata dengan nada lirih bahwa dia memerlukan uang untuk memperbaiki rumahnya yang sudah butut. Saya belum pernah ke rumahnya, belum punya kesempatan ke sana. Tapi, kalau anda ingin datang melihat rumahnya, ini saya kasih alamatnya setelah saya minta: Pak Darta, RT 06 RW 01 Desa Cipicung, Manggahang, Bale Endah, Kabupaten Bandung. Bale Endah itu kecamatan yang letaknya di selatan kota Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar